Senin, 12 Maret 2012

SIAPKAH KITA MENGHADAPI UJIAN NASIONAL

Ujian Nasional tinggal 1 bulan lagi. Sudah barang tentu bagi siswa-siswi hangat-hangatnya mempersiapkan datangnya hari yang sangat menentukan nasib itu, baik mempersiapkan diri secara materi maupun secara mental.
Di kalangan guru pembimbing, tidak ada guru yang tidak mengupayakan keberhasilan siswa-siswinya. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari tambahan belajar, pendalaman materi, seleksi soal yang sesuai dengan skl sampai dengan try-out di tingkat sekolah, kabupaten maupun karesidenan.
Kedua ungkapan di atas menggambarkan, dengan tidak mengukur dalam dangkalnya usaha mempersiapkan UN, kita dapat menghargai usaha yang dilakukan tersebut. Usaha adalah usaha, upaya meraih sukses yang selalu didambakan kita semua. Maka sebagai kunci adalah kesungguhan. Seberapa tingkat kesungguhan kita, perlukah hal ini dipertanyakan.
Bagaimana kita mengapresiasi kata sukses tersebut?
Apakah sukses menyontek, apakah sukses meng-goalkan semua siswa sehingga lulus 100 persen, apakah sukses dengan kata jujur di segala lini pelaksanaan, atau sukses yang dapat diartikan dengan berbagai sudut pandang.
Jika kita dapat berpikir secara jernih, sebenarnya sukses itu datangnya dari perjuangan, bukan nasib, juga bukan kebetulan.
Saya punya pengertian bahwa upaya meninggikan KKM pada suatu sekolahan dengan tanpa melibatkan guru yang bersangkutan, mendongkrak nilai ujian sekolah dengan cara menambah banyak nilai sedikit dan menambah sedikait nilai yang banyak, pembiaran terhadap siswa yang berlaku tidak jujur dalam mengerjakan soal UN, menyebarkan kunci jawaban entah dari mana asalnya dan upaya-upaya lain yang senilai dengan cara-cara seperti ini bukanlah suatu usaha meraih sukses, melainkan secara tidak sadar dan tidak langsung menjerumuskan anak-anak bangsa ke jurang yang lebih dalam lagi bagi pendidikan karakter yang sedang digembar-gemborkan. Mengingat bahwa tujuan pendidikan sebenarnya bukanlah nilai yang menjulang tetapi membangun pola pikir yang cerdas, jujur dan bermoral secara seimbang. Sehingga langkah-langkah yang saya sebut di atas adalah perilaku yang membodohi diri sendiri, juga membentuk karakter menyimpang dan bukan tidak mungkin produk yang terbentuk di masa yang akan datang menjadi jiwa yang tidak selaras dengan karakter bangsa Indonesia, yang notabene ber-Pancasila.
Sekarang muncul pertanyaan " Bagaimana pemecahan masalah dengan kebiasaan yang sudah  terlaksana di tahun-tahun sebelumnya tersebut?"
Perlu adanya instropeksi diri dari segala lini, sebagai pimpinan sekolah perlu dipertanyakan tujuan jabatan ini diterima atau dicari. Jika seorang pimpinan sekolah mempunyai landasan kuat dalam pendidikan dengan mengabaikan intervensi pihak manapun jika mungkin ada, maka ada baiknya menjalankan UN dengan jujur, bersih, terpenting tanpa pamrih sanjungan dari berbagai pihak. Artinya sudah waktunya berbangga terhadap kejujuran, bukan berbangga terhadap prestasi yang perlu dipertanyakan jalan mencapainya.
Bagi guru, biarkan pelaksanaan UN mengalir seperti sungai, datar-datar saja. Yang paling penting berusaha sekuat tenaga membimbing siswa-siswinya untuk menghadapi UN tersebut.
Bagi siswa penyadaran diri terhadap kemampuan sangat penting. Merenung, menyimpulkan dan segera bangun dari tidur yang panjang, bukan waktunya santai, bukan waktunya mengandalkan orang lain, bukan waktunya menanti nasib baik. Kesuksesan akan datang dengan usaha keras, dengan belajar tekun dan banyak berdoa.
Saya pernah berfikir bahwa prosentase kelulusan itu idealnya tidak 100 persen. Bagaimana tidak?, memperhatikan pengamatan-pengamatan pada anak didik kita yang tidak sedikit menyimpang dari perilaku yang dikategorikan baik baik dari segi keilmuan maupun segi tata krama tinkah laku, bagaimana mungkin lulus 100 persen.
Kalau ada yang menganggap pemikiran seperti ini keji dan kejam, itu anggapan yang menurut saya mengingkari hakekat pendidikan.
Akhirnya marilah kita berfikir jernih, bersikap bersahaya untuk mempersiapkan UN yang akan datang. Apapun langkah-langkah dan hasil yang akan terjadi, beruntung saya diberi amanah Tuhan untuk melaksanakan hanya sebagai guru biasa, sehingga banyak waktu hanya dapat menilai dengan ikhlas untuk menerima hasil, yang mudah-mudahan baik adanya.
" Berperilakulah menurut kata hati niscaya kebenaran yang akan kamu temukan "
Amin.